Cerita Menjadi Relawan Gempa Cianjur

“Waktu itu, abis sholat Dzuhur saya di kamar dengan anak dan istri saya, lagi ngobrol, eh tau-tau rumah seperti terangkat, lalu jatuh lagi. Saya langsung gendong anak saya, saya suruh semua orang keluar rumah, baru aja sampe diluar, rumah ambruk.”  Kisah seorang bapak penyintas gempa Cianjur pada saya. 

Nampak masih ada trauma dengan tanda-tanda fisik yang nyata terlihat, kaki bergetar, mata berkaca-kaca.  “Saya sekarang ngerti, semua yang kita miliki fana, saya membangun rumah itu, kumpulin uang juga tidak sebentar, ahh bisa dibilang 20 tahun dikumpulin, hancur aja gak pake itungan jam.” tambahnya lagi dengan mata menerawang mengais kenangan usaha kerasnya untuk memiliki rumah idaman yang ditinggali bersama istri dan anak yang dikasihi, kini telah hancur rata tanah. 

Percakapan itu terjadi hari kedua setelah gempa.  Sesekali masih ada gempa susulan.  Hujan disertai angin kencang membuat air masuk ke tenda darurat penampungan korban gempa.  Beberapa Santri NU membagikan ubi rebus, kopi dan teh.  Bapak ini tidak tertarik mengambilnya, ia kehilangan selera makan sejak peristiwa gempa itu.  “Sekarang juga ragu-ragu membangun rumah lagi, entar dibikin bagus-bagus, rubuh lagi.” sambung si bapak.  Terdengar jelas nada ketakutan, putus asa, pasrah, dan sedih bercampur jadi satu, baginya tidak ada kepastian keamanan di masa depan.  

Rata-rata cerita yang disampaikan oleh bapak-bapak adalah tentang tempat tinggal dan penghidupan, lain lagi cerita dari ibu-ibu, mereka takut anak dan suaminya pergi terlalu jauh, karena mendengar tetangga di sekitarnya kehilangan salah satu anggota keluarga yang pada saat gempa terjadi tidak sedang bersama-sama.  Dari sisi anak-anak, mereka takut mendengar suara hujan, petir, atau bahkan guncangan kecil.  Saat terjadi guncangan lagi, masing-masing memanggil nama Tuhan, “Ya Tuhan yang Akbar”  panggilan bersama itu terdengar seperti paduan suara permohonan kepada sang pemilik kehidupan dari hati yang diliputi luka.  Di satu sisi, mereka yang masih hidup bersyukur atas kebaikan Tuhan, disisi lain sedih melihat rumah luluh lantak, tetangga hilang, laporan orang meninggal dan gempa susulan yang masih sering terjadi. 

Bagi penyintas bencana situasi darurat itu tidak mudah.  Demikian juga bagi bapak penyintas yang bercakap dengan saya,  namun dalam pertemuan ketiga, saya melihat bapak ini dapat memaknai pengalaman bencana yang dialaminya dan mengintegrasikan dengan narasi hidupnya, sehingga Ia bisa melihat bahwa sesungguhnya semua yang dimilikinya fana, dan jika Tuhan menghendaki, dia akan membangun kehidupan lagi suatu kali kelak.  Saat melihat hidupnya dimasa lalu, ia menyadari bahwa pekerjaan, rezeki, kebutuhan hidup yang dapat dipenuhi semuanya diperoleh atas izin Tuhan, maka dengan izin Tuhan dia akan memiliki lagi.  

Saya melihat iman si bapak memengaruhi dia memaknai bencana yang menimpanya.  “Untung aja ada relawan, kita dibantuin bikin tenda, bisa ambil makanan dari dapur umum.  Untung ada bantuan kamar mandi, aduh saya mah nggak kebayang kalau kita sendirian, boro-boro mikirin kebutuhan itu, mikir keluarga sendiri juga bingung.  Selain memaknai Tuhan sebagai sumber berkat, si bapak memaknai kehadiran Tuhan dalam bencana itu lewat hadirnya relawan.  Saya jadi teringat teman-teman Ayub yang awal-awal hadir, menemani, bersimpati, duduk di tanah  bersama Ayub selama tujuh hari dan tujuh malam.

Ayub 2: 11-13, 11,Ketika ketiga sahabat Ayub mendengar kabar tentang segala malapetaka yang menimpa dia, maka datanglah mereka dari tempatnya masing-masing, yakni: Elifas, orang Teman, dan Bildad, orang Suah, serta Zofar, orang Naama.  Mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. 12, Ketika mereka memandang dari jauh, mereka tidak mengenalnya lagi.  Lalu menangislah mereka dengan suara nyaring.  Mereka menyoyak jubahnya dan menaburkan debu di kepala terhadap langit. 13, Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selamat tujuh hari tujuh malam.  Seorangpun tidak mengucapkan  sepatah kata kepadanya.  Karena mereka melihat bahwa sangat berat penderitaannya.

 

Teman-teman Ayub membuat janji untuk bertemu dan sepakat untuk merespons peristiwa kehilangan dengan cara berkumpul mengunjungi dan mendampinginya.  Mereka melihat realitas kehilangan yang menyakitkan yang dialami sahabatnya.  Mereka berkabung atas peristwa yang dialami sahabatnya, seorang masyhur terbesar dari semua orang Timur, kini tidak nampak lagi jejak-jejak kejayaan itu dalam dirinya.  Ketulusan teman-teman Ayub tidak perlu dipertanyakan lagi, mereka mengisyaratkan dengan ratapan keras, merobek pakaian dan duduk di dalam debu.  Keheningan tercipta diantara Ayub dan sahabat-sahabatnya selama tujuh hari, sebuah periode berkabung yang lengkap dalam masa bencana total.  Dengan cara yang sama, Yehezkiel duduk tertegun selama tujuh hari ketika dia bertemu orang-orang buangan (bdk. Yeh.3:15).  Keheningan adalah sarana bagi teman-teman Ayub menunjukkan kasih persahabatan dalam kebiasaan budaya mereka saat itu.  Pada waktu bencana menimpanya, penting untuk menjadi teman yang peduli dengan hadir, dan menjadi penghibur. [1]

Melalui teman-teman Ayub, saya melihat pentingnya kehadiran dalam situasi yang sulit.  Mereka menjadi Sahabat yang menghadirkan kasih Allah dengan cara hadir dan berbagian untuk Ayub yang saat itu berada dalam masa sulit.  Sebagaimana bapak penyintas bencana yang dapat melihat TUHAN yang mengingat korban bencana alam melalui kehadiran para relawan.  Dalam kesempatan itu saya sebagai relawan dapat memberikan bela rasa, peduli terhadap kondisi jasmani, rohani, emosi para penyintas gempa.   

Cerita gempa Cianjur bukan hanya soal para penyintas namun ada pula cerita tentang bantuan yang dinarasikan sebagai penolakan dan membuat pembaca berita dapat memberikan asumsi yang tidak sebagaimana mestinya.  (1) Tentang pakaian pantas pakai yang bermula dari video video singkat memperlihatkan pakaian yang dibuang dijalanan, yang segera menjadi konsumsi publik dan menjadi viral.  Ada yang memberikan reaksi datar, tidak sedikit yang memberikan reaksi kecewa-marah dan berujung menyimpulkan “sudah tertimpa gempa, tidak tahu bersyukur..”.  “Mau tendanya, tidak mau orangnya”.  Refleksiku melihat fenomena ini adalah belajar untuk melakukan evaluasi terhadap kebutuhan mendesak yang diperlukan oleh penyintas gempa, sehingga bantuan yang diberikan tepat sasaran, tidak terjadi lagi kesalahpahaman baik pihak yang tergerak oleh belaskasihan ingin memberikan bantuan, maupun pihak yang membutuhkan pertolongan.  Jadi ada baiknya merespon bencana dengan mengetahui apa yang dibutuhkan dan berkontribusi tepat sesuai kebutuhan.  Ingat, kita bukan korban, dan tidak tau situasi yang sesungguhnya terjadi, dirasakan dan dialami oleh mereka.  Kita bermaksud peduli, bukan memaksakan dengan cara dan gaya kita.  Bukankah kita tumbuh dengan pengajaran motivasi dalam bersedekah? Kita akrab dengan pemikiran untuk tidak membiarkan tangan kiri bahkan dirimu sendiri tahu disaat tangan kanan memberi, hingga berpuas diri.  (2) Persoalan Intoleransi yang menyeruak dan juga menjadi viral.  Melalui peristiwa ini, saya sebagai relawan juga belajar  untuk dapat memberikan bantuan sesuai dengan konteks masyarakat setempat.   Membaca konteks sosial dan menyatakan kepedulian dengan tepat bukan dengan cara dan gaya kita.  (3)  Persoalan jalur sesar yang seharusnya tidak dijadikan wilayah hunian.  Apa daya telah turun temurun mereka tinggal disana, mengantongi sertifikat resmi.  Mari mendoakan pemerintah daerah dalam menangani jalur sesar berbahaya ini agar mendapat hikmat untuk merelokasi wilayah rawan gempa tidak layak huni ini.

Seminggu paska bencana, saya bersama relawan Ark Care Ministry kembali lagi ke Cianjur.  Kali ini kami bergabung dengan MDS Indonesia untuk menjadi relawan psikososial.  Senin 28 November 2022, kami tiba di posko MDS di daerah Sukaluyu.  Setelah briefing sejangkawaktu, kami segera ke lokasi yang didampingi oleh MDS.  Tim dokter mengunjugi penyintas gempa di tenda-tenda memberikan pemeriksaan dan pengobatan.  Peristiwa pengobatan yang menyuguhkan pemandangan perdamaian melampui sekat-sekat primordialisme: suku, ras, agama.  Kasih menjadi jembatan untuk para penyintas gempa bisa menerima segala perbedaan, menerima dan menyambut kasih.  Solidaritas kepada korban gempa dengan hadir tanpa membawa kepentingan kepentingan pribadi dan kelompok. 

Melalui peristiwa ini, saya sebagai pengikut Kristus yang menderita, belajar untuk mendalami penderitaan korban bencana dan melayani sebagai agen penebusan Allah dengan hadir memberikan pendampingan, bantuan Kesehatan yang diperlukan dan pendampingan kepada anak-anak.  Saya sebagai murid Kristus dipanggil untuk menjadi agen kasih karunia.  Panggilan ini bisa diwujudnyatakan salah satunya dengan berdoa bagi penyintas gempa secara pribadi maupun doa secara komunal.

Tanggal 19 Desember, hari terakhir pelayanan psikososial, diluar dugaan hadir 180 anak mengikuti dengan antusias.  Saat akhirnya berpamitan dengan anak-anak dan dengan beberapa warga setempat, mereka menyampaikan terima kasih atas kehadiran MDS, para relawan yang membantu mereka mengatasi masa-masa sulit akibat gempa.  Salah seorang koordinator Posko menulis distatus WA, “nggak kebayang tanggal 20 Desember,  sedih membayangkan para relawan pulang.”  Terlihat kehadiran relawan memberikan penghiburan dan kekuatan.  

Menjadi relawan bukan sekadar mengisi waktu, namun dibalik itu, Tuhan dapat memakai relawan untuk menjadi Agen kasih dan perdamaian, yang menghadirkan kasih dan damai sejahtera TUHAN bagi penyintas gempa.  Mereka tidak sendirian dalam menghadapi kesulitan, ada Tuhan yang mengirimkan anak-anak-Nya.  Risma Lumalessil


-tulisan ini diterbitkan di Majalah Berita GKMI edisi Maret 2023


Dokter Relawan ACM

Mengunjungi dan mengobati Pasien

Kiri: Proses Pengadaan Air Bersih
Kanan: (dari kiri ke kanan: Risma Lumalessil-Ark Care Ministry, Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty-Sekum PGI, Abah Buloh-Pimpinan Padepokan Pakusari 






 

 

 

 



[1] August H. Konkel and Tremper Longman III, Cornerstone Biblical Commentary, Vol 6: Job, Ecclesiastes, and Song of Songs (Carol Stream, IL: Tyndale House Publishers, 2006), 42–44.

 

Comments