- Get link
- X
- Other Apps
“Waktu itu, abis sholat Dzuhur saya di kamar dengan anak dan istri saya, lagi ngobrol, eh tau-tau rumah seperti terangkat, lalu jatuh lagi. Saya langsung gendong anak saya, saya suruh semua orang keluar rumah, baru aja sampe diluar, rumah ambruk.” Kisah seorang bapak penyintas gempa Cianjur pada saya.
Nampak masih ada trauma dengan tanda-tanda fisik yang nyata
terlihat, kaki bergetar, mata berkaca-kaca.
“Saya sekarang ngerti, semua yang kita miliki fana, saya membangun
rumah itu, kumpulin uang juga tidak sebentar, ahh bisa dibilang 20 tahun
dikumpulin, hancur aja gak pake itungan jam.” tambahnya lagi dengan mata
menerawang mengais kenangan usaha kerasnya untuk memiliki rumah idaman yang
ditinggali bersama istri dan anak yang dikasihi, kini telah hancur rata
tanah.
Percakapan itu terjadi hari kedua setelah gempa. Sesekali masih ada gempa susulan. Hujan disertai angin kencang membuat air
masuk ke tenda darurat penampungan korban gempa. Beberapa Santri
NU membagikan ubi rebus, kopi dan teh.
Bapak ini tidak tertarik mengambilnya, ia kehilangan selera makan sejak
peristiwa gempa itu. “Sekarang juga
ragu-ragu membangun rumah lagi, entar dibikin bagus-bagus, rubuh lagi.” sambung
si bapak. Terdengar jelas nada ketakutan,
putus asa, pasrah, dan sedih bercampur jadi satu, baginya tidak ada kepastian
keamanan di masa depan.
Rata-rata cerita yang disampaikan oleh bapak-bapak adalah
tentang tempat tinggal dan penghidupan, lain lagi cerita dari ibu-ibu, mereka
takut anak dan suaminya pergi terlalu jauh, karena mendengar tetangga di sekitarnya
kehilangan salah satu anggota keluarga yang pada saat gempa terjadi tidak sedang
bersama-sama. Dari sisi anak-anak, mereka
takut mendengar suara hujan, petir, atau bahkan guncangan kecil. Saat terjadi guncangan lagi, masing-masing
memanggil nama Tuhan, “Ya Tuhan yang Akbar” panggilan bersama itu terdengar seperti paduan
suara permohonan kepada sang pemilik kehidupan dari hati yang diliputi luka. Di satu sisi, mereka yang masih hidup bersyukur
atas kebaikan Tuhan, disisi lain sedih melihat rumah luluh lantak, tetangga
hilang, laporan orang meninggal dan gempa susulan yang masih sering terjadi.
Bagi penyintas bencana situasi darurat itu tidak
mudah. Demikian juga bagi bapak
penyintas yang bercakap dengan saya, namun
dalam pertemuan ketiga, saya melihat bapak ini dapat memaknai pengalaman
bencana yang dialaminya dan mengintegrasikan dengan narasi hidupnya, sehingga
Ia bisa melihat bahwa sesungguhnya semua yang dimilikinya fana, dan jika Tuhan
menghendaki, dia akan membangun kehidupan lagi suatu kali kelak. Saat melihat hidupnya dimasa lalu, ia
menyadari bahwa pekerjaan, rezeki, kebutuhan hidup yang dapat dipenuhi semuanya
diperoleh atas izin Tuhan, maka dengan izin Tuhan dia akan memiliki lagi.
Saya melihat iman si bapak memengaruhi dia memaknai bencana
yang menimpanya. “Untung aja ada
relawan, kita dibantuin bikin tenda, bisa ambil makanan dari dapur umum. Untung ada bantuan kamar mandi, aduh saya mah
nggak kebayang kalau kita sendirian, boro-boro mikirin kebutuhan itu, mikir
keluarga sendiri juga bingung.”
Selain memaknai Tuhan sebagai sumber berkat, si bapak memaknai kehadiran
Tuhan dalam bencana itu lewat hadirnya relawan.
Saya jadi teringat teman-teman Ayub yang awal-awal hadir, menemani,
bersimpati, duduk di tanah bersama Ayub
selama tujuh hari dan tujuh malam.
Ayub 2: 11-13, 11,Ketika ketiga sahabat Ayub mendengar
kabar tentang segala malapetaka yang menimpa dia, maka datanglah mereka dari
tempatnya masing-masing, yakni: Elifas, orang Teman, dan Bildad, orang Suah,
serta Zofar, orang Naama. Mereka
bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. 12,
Ketika mereka memandang dari jauh, mereka tidak mengenalnya lagi. Lalu menangislah mereka dengan suara
nyaring. Mereka menyoyak jubahnya dan
menaburkan debu di kepala terhadap langit. 13, Lalu mereka duduk bersama-sama
dia di tanah selamat tujuh hari tujuh malam.
Seorangpun tidak mengucapkan
sepatah kata kepadanya. Karena
mereka melihat bahwa sangat berat penderitaannya.
Teman-teman
Ayub membuat janji untuk bertemu dan sepakat untuk merespons peristiwa
kehilangan dengan cara berkumpul mengunjungi dan mendampinginya. Mereka melihat realitas kehilangan yang
menyakitkan yang dialami sahabatnya.
Mereka berkabung atas peristwa yang dialami sahabatnya, seorang masyhur terbesar dari semua orang Timur, kini tidak nampak lagi jejak-jejak
kejayaan itu dalam dirinya. Ketulusan
teman-teman Ayub tidak perlu dipertanyakan lagi, mereka mengisyaratkan dengan
ratapan keras, merobek pakaian dan duduk di dalam debu. Keheningan tercipta diantara Ayub dan
sahabat-sahabatnya selama tujuh hari, sebuah periode berkabung yang lengkap
dalam masa bencana total. Dengan cara
yang sama, Yehezkiel duduk tertegun selama tujuh hari ketika dia bertemu
orang-orang buangan (bdk. Yeh.3:15).
Keheningan adalah sarana bagi teman-teman Ayub menunjukkan kasih
persahabatan dalam kebiasaan budaya mereka saat itu. Pada waktu bencana menimpanya, penting untuk
menjadi teman yang peduli dengan hadir, dan menjadi penghibur. [1]
Melalui teman-teman Ayub, saya melihat pentingnya kehadiran
dalam situasi yang sulit. Mereka menjadi
Sahabat yang menghadirkan kasih Allah dengan cara hadir dan berbagian untuk
Ayub yang saat itu berada dalam masa sulit.
Sebagaimana bapak penyintas bencana yang dapat melihat TUHAN yang
mengingat korban bencana alam melalui kehadiran para relawan. Dalam kesempatan itu saya sebagai relawan dapat
memberikan bela rasa, peduli terhadap kondisi jasmani, rohani, emosi para
penyintas gempa.
Cerita gempa Cianjur bukan hanya soal para penyintas namun
ada pula cerita tentang bantuan yang dinarasikan sebagai penolakan dan membuat
pembaca berita dapat memberikan asumsi yang tidak sebagaimana mestinya. (1) Tentang pakaian pantas pakai yang bermula
dari video video singkat memperlihatkan pakaian yang dibuang dijalanan, yang
segera menjadi konsumsi publik dan menjadi viral. Ada yang memberikan reaksi datar, tidak
sedikit yang memberikan reaksi kecewa-marah dan berujung menyimpulkan “sudah
tertimpa gempa, tidak tahu bersyukur..”.
“Mau tendanya, tidak mau orangnya”. Refleksiku melihat fenomena ini adalah belajar
untuk melakukan evaluasi terhadap kebutuhan mendesak yang diperlukan oleh
penyintas gempa, sehingga bantuan yang diberikan tepat sasaran, tidak terjadi
lagi kesalahpahaman baik pihak yang tergerak oleh belaskasihan ingin memberikan
bantuan, maupun pihak yang membutuhkan pertolongan. Jadi ada baiknya merespon bencana dengan
mengetahui apa yang dibutuhkan dan berkontribusi tepat sesuai kebutuhan. Ingat, kita bukan korban, dan tidak tau
situasi yang sesungguhnya terjadi, dirasakan dan dialami oleh mereka. Kita bermaksud peduli, bukan memaksakan
dengan cara dan gaya kita. Bukankah kita
tumbuh dengan pengajaran motivasi dalam bersedekah? Kita akrab dengan pemikiran
untuk tidak membiarkan tangan kiri bahkan dirimu sendiri tahu disaat tangan
kanan memberi, hingga berpuas diri. (2)
Persoalan Intoleransi yang menyeruak dan juga menjadi viral. Melalui peristiwa ini, saya sebagai relawan
juga belajar untuk dapat memberikan
bantuan sesuai dengan konteks masyarakat setempat. Membaca konteks sosial dan menyatakan kepedulian
dengan tepat bukan dengan cara dan gaya kita.
(3) Persoalan jalur sesar yang
seharusnya tidak dijadikan wilayah hunian.
Apa daya telah turun temurun mereka tinggal disana, mengantongi
sertifikat resmi. Mari mendoakan
pemerintah daerah dalam menangani jalur sesar berbahaya ini agar mendapat
hikmat untuk merelokasi wilayah rawan gempa tidak layak huni ini.
Seminggu paska bencana, saya bersama relawan Ark Care
Ministry kembali lagi ke Cianjur.
Kali ini kami bergabung dengan MDS Indonesia untuk menjadi relawan
psikososial. Senin 28 November 2022,
kami tiba di posko MDS di daerah Sukaluyu. Setelah briefing sejangkawaktu, kami segera ke
lokasi yang didampingi oleh MDS. Tim
dokter mengunjugi penyintas gempa di tenda-tenda memberikan pemeriksaan dan
pengobatan. Peristiwa pengobatan yang
menyuguhkan pemandangan perdamaian melampui sekat-sekat primordialisme: suku,
ras, agama. Kasih menjadi jembatan untuk
para penyintas gempa bisa menerima segala perbedaan, menerima dan menyambut
kasih. Solidaritas kepada korban gempa
dengan hadir tanpa membawa kepentingan kepentingan pribadi dan kelompok.
Melalui peristiwa ini, saya sebagai pengikut Kristus yang
menderita, belajar untuk mendalami penderitaan korban bencana dan melayani
sebagai agen penebusan Allah dengan hadir memberikan pendampingan, bantuan
Kesehatan yang diperlukan dan pendampingan kepada anak-anak. Saya sebagai murid Kristus dipanggil untuk
menjadi agen kasih karunia. Panggilan
ini bisa diwujudnyatakan salah satunya dengan berdoa bagi penyintas gempa secara
pribadi maupun doa secara komunal.
Tanggal 19 Desember, hari terakhir pelayanan psikososial,
diluar dugaan hadir 180 anak mengikuti dengan antusias. Saat akhirnya berpamitan dengan anak-anak dan
dengan beberapa warga setempat, mereka menyampaikan terima kasih atas kehadiran
MDS, para relawan yang membantu mereka mengatasi masa-masa sulit akibat
gempa. Salah seorang koordinator Posko
menulis distatus WA, “nggak kebayang tanggal 20 Desember, sedih membayangkan para relawan pulang.” Terlihat kehadiran relawan memberikan
penghiburan dan kekuatan.
Menjadi relawan bukan sekadar mengisi waktu, namun dibalik
itu, Tuhan dapat memakai relawan untuk menjadi Agen kasih dan perdamaian, yang
menghadirkan kasih dan damai sejahtera TUHAN bagi penyintas gempa. Mereka tidak sendirian dalam menghadapi
kesulitan, ada Tuhan yang mengirimkan anak-anak-Nya. Risma Lumalessil
-tulisan ini diterbitkan di Majalah Berita GKMI edisi Maret 2023
Dokter Relawan ACM
Mengunjungi dan mengobati Pasien
Kiri: Proses Pengadaan Air Bersih
Kanan: (dari kiri ke kanan: Risma Lumalessil-Ark Care Ministry, Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty-Sekum PGI, Abah Buloh-Pimpinan Padepokan Pakusari
[1]
August H. Konkel and Tremper Longman III, Cornerstone
Biblical Commentary, Vol 6: Job, Ecclesiastes, and Song of Songs
(Carol Stream, IL: Tyndale House Publishers, 2006), 42–44.
Comments
Post a Comment