Burung puyuh
31, Lalu bertiuplah angin yang dari TUHAN asalnya; dibawanyalah burung-burung puyuh dari sebelah laut, dan dihamburkannya ke atas tempat perkemahan dan di sekelilingnya, kira-kira sehari perjalanan jauhnya ke segala penjuru, dan kira-kira dua hasta tingginya dari atas muka bumi.
32, Lalu sepanjang hari dan sepanjang malam itu dan sepanjang hari esoknya bangkitlah bangsa itu mengumpulkan burung-burung puyuh itu--setiap orang sedikit-dikitnya mengumpulkan sepuluh homer--,kemudian mereka menyebarkannya lebar-lebar sekeliling tempat perkemahan.
33, Selagi daging itu ada di mulut mereka, sebelum dikunyah, maka bangkitlah murka TUHAN terhadap bangsa itu dan TUHAN memukul bangsa itu dengan suatu tulah yang sangat besar.
34, Sebab itu dinamailah tempat itu Kibrot-Taawa, karena di sanalah dikuburkan orang-orang yang bernafsu rakus.
35, Dari Kibrot-Taawa berangkatlah bangsa itu ke Hazerot dan mereka tinggal di situ.
© Renungkanlah
Pas baca perikop ini ya, tau tau inget promo besar-besaran di online shop! Kayak harganya mahal jadi semurah itu, jadi kita mikir, ahh sayang kalau gak dibeli, belum tentu ada disc begini lagi. Diskon gede, gratis ongkir, bonus voucher...wuhuuuu, semua kek sayang untuk dilewatkan. Lalu, tanpa sadar, keranjang belanja penuh dengan barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Awalnya ada rasa puas karena berhasil “menang banyak”, tetapi kemudian datang rasa nyesell: angka di rekening wow tiba tiba kok berkurang banyak yaa, barang menumpuk, jadi feeling guilty, hufttt.
Inilah gambaran kerakusan: keinginan yang tak pernah merasa cukup. Persis seperti yang terjadi pada bangsa Israel—ketika mereka mendesak Allah untuk memberi daging. Allah menjawab dengan burung puyuh yang melimpah luar biasa. Namun, alih-alih membawa sukacita, justru berakhir dengan kematian massal. Mengapa jawaban doa bisa berubah menjadi bencana? Mari kita gali lebih dalam.
Ay 31-32, Angin dari TUHAN membawa burung puyuh dalam jumlah tak terhitung, sejauh sehari perjalanan dan setinggi dua hasta di sekeliling perkemahan. Gambaran ini hiperbolis dan retoris: yang sebenernya mau menggambarkan kelimpahan yang luar biasa, tetapi sekaligus mengerikan. Rakyat mengumpulkan tidak hanya secukupnya seperti manna (Kel. 16:16), melainkan berlebihan banget: setiap orang minimal sepuluh homer, sekitar lima puluh gantang yang artinya 3.000–4.000 ekor burung puyuh, atau setara 300–400 kg daging atau 15–20 karung beras ukuran 20 kg. PER ORANG lho guys. Jumlah ini tentu tidak realistis untuk dimakan oleh satu orang. Artinya penulis Alkitab memang sedang menggunakan angka hiperbolis untuk menekankan kerakusan umat Israel: mereka menimbun burung puyuh jauh lebih banyak dari yang bisa dimakan Narasi ini sarat ironi: berkat yang semula diminta berubah menjadi lambang kerakusan manusia.
Ay 33, Teks menggambarkan adegan tragis yaitu sebelum daging itu dikunyah, murka TUHAN datang. Sebuah gambaran tentang keinginan yang memuncak, lalu dipatahkan seketika oleh realitas hukuman Allah. Kata Ibrani untuk "tulah besar" menekankan kedahsyatan yang tak tertanggungkan. Allah seolah berkata: “Kamu menginginkan lebih dari yang Kuberi, sekarang lihatlah akibatnya.”
Ay 34-35, Nama tempat menjadi teologi dalam bentuk geografis: Kibrot-Taawa berarti "kuburan nafsu." Nama ini adalah memorial negatif, mengingatkan setiap generasi bahwa kerakusan tidak pernah berakhir dengan kehidupan, melainkan dengan kematian. Perjalanan ke Hazerot gak cuman perpindahan lokasi, melainkan peringatan keras: siapa yang hidup dalam nafsu gak akan pernah tiba di tanah perjanjian.
Dalam terang Injil, perikop ini menunjuk pada kontras antara nafsu rakus dan roti sejati dari surga. Israel menolak manna, lambang pemeliharaan Allah, dan mengejar daging yang fana. Tetapi Tuhan Yesus berkata: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi” (Yoh. 6:35). Sementara nafsu membawa maut di Kibrot-Taawa, Tuhan Yesus Kristus memberikan diri-Nya di kayu salib agar kita yang lapar dan haus akan kebenaran dipuaskan dengan hidup yang kekal. Kuburan kerakusan menemukan jawabannya dalam kubur kosong Yesus.
Wait guys jangan buru buru bilang bahwa kisah ini bukan sekadar sejarah kuno tentang bangsa yang rakus, melainkan cermin bagi kita hari ini. Jika Israel bisa jatuh dalam dosa karena membandingkan hidup di padang gurun dengan kenangan masa lalu di Mesir, bukankah kita pun sering terjebak membandingkan hidup kita sekarang dengan apa yang menurut kita lebih “enak” dan menyenangkan diri kita sendiri? Pertanyaannya: apakah kita sedang mengejar Kristus, atau hanya mengejar kenyamanan yang fana?
© Refleksikanlah
Hari ini kita belajar bahwa keinginan yang tak terkendali bisa menjadi jebakan mematikan. Dunia modern penuh dengan “burung puyuh” kayak aktualisasi diri berlebihan, mengumpulkan harta berlebihan, mengejar popularitas. Kelihatannya menjanjikan kepuasan. Tetapi berapa banyak orang justru hancur karena tak pernah merasa cukup? Penulis kitab ini ingin agar kita sadar: hidup yang terus menuntut lebih hanya akan menggali kubur bagi diri sendiri. Sebaliknya, ketika kita belajar cukup dengan Kristus, kita menemukan sumber sukacita dan hidup yang berkelimpahan.
© Pertanyaan Reflektif
1. Apakah ada keinginan dalam hidupmu yang membuatmu tidak pernah merasa cukup, meski sudah mendapat banyak pencapaian?
2. Bagaimana kamu bisa belajar untuk memandang kepada Kristus sebagai satu-satunya sumber kepuasan sejati?
3. Apa artinya “cukup” bagi dirimu hari ini, ketika Allah sudah menyediakan segalanya melalui Kristus?
© Berdoalah sesuai Firman
“Tuhan, ampuni aku ketika aku lebih sering mengejar hal-hal fana daripada mengejar hadir-Mu dalam hidupku. Ajarlah aku merasa cukup dengan pemeliharaan-Mu, dan menaruh kepuasanku hanya pada Kristus, roti hidup yang sejati. Bentuklah aku agar tidak diperbudak keinginan, tetapi hidup dalam syukur dan ketaatan kepada-Mu. Amin.”
Tetap semangat guys, Tuhan Yesus beserta kita,#kamugaksendiri #TuhanYesusBesertamu *RL-SDG*
Comments
Post a Comment